TNBT Diambang Bencana

Illegal Logging dan Perambahan Kawasan Nyata di Hutan Penyangga TNBT

Illegal Logging dan Perambahan Kawasan Nyata di Hutan Penyangga TNBT
Seorang warga melintas di areal kebun masyarakat yang berada di kawasan penyangga TNBT.

INHU - Bentangan alam Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang luasnya mencapai 144,223 hektar terancam oleh aksi penebangan liar dan perambahan kawasan. Fakta ini ditemukan di Desa Alim, Kecamatan Batang Cenaku, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Jual beli lahan di atas kawasan penyangga dilakukab oleh para investor bermodal besar dan masyarakat setempat. Akibat aktifitas perambahan kawasan dan ilegal logging selama puluhan tahun itu, hutan hilang dan bencana pun datang. 

Masyarakat Batang Cenaku, kini merasakan bencana banjir dahsyat akibat rimba raya yang berfungsi sebagai penampung air telah hilang. Selain kerugian material bagi warga, banjir besar juga merusak infrastruktur jembatan yang dibangunkan pemerintah. Ditambah lagi masyarakat semakin resah karena konflik satwa dengan manusia yang semakin marak terjadi. 

Rumah pekerja kebun sawit di daerah penyangga TNBT

Melalui penelurusan khusus yang dilakukan Tribun Pekanbaru bersama petugas TNBT ditemukan fakta bahwa ribuan hektar hutan penyangga kawasan TNBT yang ada di Desa Lahai dan Desa Alim, Kecamatan Batang Cenaku, Inhu sudah habis digarap dan dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Padahal sesuai peta dari TNBT, wilayah tersebut merupakan kawasan Hutan  Produksi Terbatas (HPT). Bahkan di Desa Alim sendiri, titik perambahan sudah masuk ke kawasan TNBT. 

Edianto, seorang petugas TNBT mengatakan perambahan sudah terjadi sepanjang dua kilometer kawasan TNBT. Namun petugas belum berhasil menangkap pelaku perambahan kawasan di wilayah itu. "Mereka kucing-kucingan, kalau kita patroli mereka keluar kalau kita tidak patroli mereka masuk," kata Edianto. Edianto mengatakan sudah tiga bulan ini mereka mengintai pelaku perambahan kawasan di lokasi kebun yang diketahui milik HS, warga Medan, Sumatera Utara. 

Di lokasi itu ditemukan bekas kebakaran berupa tunggul kayu sisa penebangan yang menghitam. Tidak hanya satu, setidaknya ada puluhan tunggul kayu sisa penebangan yang ditemukan di lokasi tersebut. Diperkirakan perambahan itu sudah berlangsung selama enam hingga tujuh tahun lalu, sesuai dengan umur sawit yang ditemukan di lokasi itu. 

Menurut Panjaitan, salah seorang pekerja di kebun itu, pihaknya mengelola kebun yang luasnya mencapai 150 hektar itu mengatasnamakan kelompok tani. Namun tidak ada tanda nama kelompok tani yang ditemukan di lokasi tersebut. 

HS baru satu nama, namun fakta di lapangan setidaknya ada tujuh nama pemodal yang menguasai lahan HPT di sepanjang hutan penyangga TNBT. Para investor itu menyimpan kedoknya dengan mengatasnamakan kelompok tani. Hal ini diungkapkan oleh Kades Alim, Edi Purnama yang sudah menjabat selama empat tahun. 

Jual beli lahan kawasan hutan itu juga diketahui oleh Hendrik, Batin atau tokoh adat setempat. Akibatnya masyarakat adat kehilangan wilayah adatnya. Bahkan masyarakat setempat kini semakin susah ekonominya karena tidak punya tanah untuk digarap berladang. 

Secara khusus reportase mengenai aktifitas perambahan kawasan di penyangga TNBT dan bencana yang ditimbulkan diulas mendalam melalui laporan yang terbit di Tribun Pekanbaru dan Tribunpekanbaru.com. Laporan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center dan Tribun Pekanbaru.(*)

Lahan Kawasan Diperjual Belikan

Aksi jual beli lahan antara pemilik lahan dengan masyarakat desa sudah terjadi selama puluhan tahun. Proses jual beli lahan tersebut juga diduga ilegal. Hal ini diakui oleh mantan Kades Alim, Zulkarnain dan Batin atau tokoh adat setempat, Hendrik. 

Zulkarnain mengakui bahwa pada masa periode kepemimpinannya terjadi jual beli lahan di atas kawasan. "Bahkan sebelum kepemimpinan saya sudah banyak jual beli lahan," katanya. Nilainya bervariasi, umumnya lahan kawasan itu dijual seharga Rp 2 juta dengan luasan satu kapling atau dua hektar. Tidak hanya hutan, namun ada juga lahan garapan masyarakat yang juga turut diperjual belikan. 

Batin, atau tokoh adat setempat, Hendrik mengatakan proses jual beli lahan itu sudah terjadi semenjak belasan tahun lalu. Dengan tegas ia mengatakan ada keterlibatan pemerintah desa dalam proses jual beli lahan itu. "Pemerintah desa ikut menjual lahan kawasan dengan mengeluarkan surat, bayangkan saja kalau satu surat itu dibayar Rp 1 juta. Ada 8000 hektar lebih yang dikeluarkan suratnya oleh pemerintah Desa. Maka jangan heran kepala desa kalau menjabat bisa beli mobil, rumahnya bagus-bagus," kata Hendrik. 

Menurut Hendrik sampai saat ini juga masih terjadi jual beli lahan kawasan seperti yang diterangkannya. Hendrik mengaku dirinya bertentangan dengan pemerintah desa setempat. "Tidak terjalin satu pemikiran antara pemerintah desa dengan masyarakat adat, akibatnya masyarakat adat kehilangan wilayah adatnya karena dikuasai oleh masyarakat luar," ujar Hendrik. 

Ia menginginkan hendaknya lahan kawasan yang merupakan wilayah adat jangan ikut dijual. Sehingga masyarakat masih memiliki lahan untuk digarap. 

Hendrik menggambarkan penderitaan masyarakat setempat kini yang susah ekonominya karena tidak punya tanah untuk digarap berladang. "Kalau sore-sore biasanya ada nanti ibu-ibu yang datang bawa karung berisi brondolan sawit untuk dijual, bukan pulak sawit dia tapi sawit orang. Suaminya tak kerja, hanya duduk di rumah saja," katanya. Ia semakin khawatir kondisi yang saat ini terjadi akan semakin sulit ketika ekonomi masyarakat semakin susah maka tindak kriminalitas semakin tinggi. (*)

Rusaknya Hutan dan Bencana Alam Nyata Terjadi

Sepanjang kawasan penyangga TNBT sebelumnya menyimpan potensi kekayaan alam yang terjaga. Selayaknya wilayah hutan, di sana terdapat berbagai jenis pepohonan, diantaranya pohon sialang yang merupakan pohon adat bagi masyarakat setempat, pohon kulim, pohon trembesi. Namun semua pohon tersebut sudah ditebang dan dikonversi menjadi sawit. 

Selain tumbuhan, wilayah kawasan hutan penyangga TNBT juga menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis fauna. Baik itu harimau sumatera, gajah, babi, berbagai jenis burung dan lainnya. Namun kini tidak ada lagi tempat tinggal bagi hewan-hewan tersebut di sana. Beruntung kawasan TNBT masih terjaga hingga kini sehingga hewan-hewan tersbut masih bisa ditemukan di TNBT. Misalnya Harimau Sumatera yang masih bisa ditangkap kamera trap di jarak lima kilometer di dalam kawasan TNBT. 

Namun, rusaknya kawasan hutan itu menimbulkan bencana alam. Akhir tahun 2021 lalu ratusan warga di Kecamatan Batang Cenaku, Batang Gansal, dan Seberida terdampak banjir yang meluap dari Sungai Cenaku dan Sungai Gansal. Selain itu juga sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah mengalami kerusakan parah. 

Berdasarkan catatan Tribunpekanbaru.com akibat hujan deras yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Inhu pada Sabtu (25/12/2021) lalu anak sungai di dua kecamatan meluap. Luapan air tersebut menghantam sejumlah desa mengakibatkan dua jembatan mengalami kerusakan parah. Dua jembatan yang mengalami kerusakan tersebut, yakni jembatan di Dusun Kampung Baru, Desa Siambul, Kecamatan Batang Gansal dan jembatan di Desa Pejangki, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Inhu.

Akibat kerusakan jembatan tersebut, seratus Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di desa tersebut terisolir. Mereka hanya bisa keluar melalui jembatan gantung dan jembatan kayu yang dibuat Pemerintah Desa dan warga setempat pada waktu dulu. (*)

Profesor Budi Mulianto, Guru Besar IPB, Tapal Batas Kawasan Hutan Harus Ditetapkan

INHU - Isu persoalan perambahan kawasan hutan di Indonesia tidak terlepas dari penatapan tapal batas kawasan. Fakta yang ditemukan di kawasan hutan yang menjadi penyangga TNBT di Desa Alim, Kecamatan Batang Cenaku, Inhu salah satunya. Masyarakat dan aparat desa mengaku tidak tahu di mana batas kawasan hutan. Pakar kehutanan dan ilmu tanah sekaligus guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. menjelaskan penetapan tapal batas ini harusnya dilakukan sebelum dikukuhkan sebagai kawasan hutan. 

"Jadi persoalannya ada definisi hutan dan definisi kawasan. Pada saat sebelum orde baru, masyarakat itu ada di kota, desa, kampung dan itu banyak di tengah hutan. Kemudian pada saat undang-undang pokok kehutanan nomor 5 tahun 1967 ada pemisahan. Itu sudah mulai ada pendefinisian kawasan hutan," katanya. 

Berkenaan dengan itu, kawasan hutan harusnya dibatasi sehingga terdapat pembedaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan yang kemudian disebut sebagai Areal Penggunaan Lain (APL). Menurut Budi, kenyataan memang dilakukan pembatasan oleh pihak Kementerian Kehutanan di atas peta TGHK. Kelemahan di dalam peta TGHK itu, sebutnya masih menetapkan skala yang sangat kecil, misalnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan menggunakan skala 1:250.000. 

"Artinya 1 milimeter di peta sama dengan 250.000 milimeter atau 250 meter di lapangan," katanya. Peta tersebut kemudian menjadi referensi untuk penyusunan peta-peta selanjutnya, namun tidak dilakukan survey serta pentapan batas-batas yang disepakati di lapangan. 

"Kalau kita jadikan batas-batas kawasan di skala TGHK itu dan itu dibatasi secara sepihak, itukan menjadi masalah. Karena banyak rumah-rumah, kampung-kampung masuk di dalam kawasan, itu persoalannya," ujar Budi. Ia tegas mengatakan apabila tidak ada penetapan batas melibatkan pihak-pihak yang berbatas, maka tindakan itu disebut klaim.

"Jadi persoalannya adalah masuk ke isu kawasan hutan, batas kawasan itu penting. Batas kawasan itukan tidak bisa ditentukan sepihak. Karena apa, batas itu adalah garis yang disepakati oleh pihak-pihak yang berbatas. Kalau dilakukan sepihak itu klaim namanya," tegasnya. 

Masyarakat yang tinggal di dalam hutan dan kawasan hutan selama berabad-abad sudah hidup menggunakan dan memanfaatkan tanah yang ada di hutan untuk berkebun dan bermukim. Hal ini juga bisa dilihat dengan tanda-tanda sejarah, seperti perkampungan dan pemakaman yang ada di wilayah tersebut. Maka penetapan tapal batas, tanpa memberikan pengetahuan kepada masyarakat juga mengenyampingkan hak-hak asasi manusia. Hal ini juga sesuai dengan aturan yang terkandung  pada PP nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. "Kalau ada orang di situ (kawasan hutan red) ya di enclave kalau tidak diganti rugi," ujar Budi. 

Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Budi dikarenakan pemerintah abai dalam pengadministrasian kawasan hutan sebagai aset negara. Akibatnya hutan penyangga TNBT yang berstatus HPT habis dibabat dan dikonversi menjadi kebun sawit. 

Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perambahan tersebut, salah satunya berkurangnya biodiversity di kawasan hutan. "Sekarang di sana ada ratusan spesies yang bisa digunakan kemudian hari oleh anak cucu kita, apalagi hutan kita adalah hutan tropika basah," ujarnya. Namun menurut Budi, antara hutan dan perkebunan sawit tidak dapat dihadap-hadapkan, karena keduanya sama pentingnya. "Manusia butuh pangan dan pekerjaan untuk kehidupan," katanya. Selain itu, produk komoditi sawit saat ini menjadi sumber energi baru disaat keterbatasan sumber energi fosil. 

Untuk itu yang perlu dipikirkan adalah penataan ruang dan wilayah kawasan hutan dengan melihat potensi tanah di setiap kawasan. "Kalau itu berbukit-bukit, sebaiknya dipertahankan dan dibatasi. Bagaimana dengan tanah yang sudah diduduki oleh warga di daerah berbukti, dihitung ganti ruginya. Itu namanya menata," tegas Budi. (*)

#Inhu

Index

Berita Lainnya

Index