Pilihan ketujuh selain enam agama bagi penghayat kepercayaan

Pilihan ketujuh selain enam agama bagi penghayat kepercayaan

Riaukarya.com - Tiga helai kartu tanda penduduk (KTP) milik istri, anak, dan Bonie Nugraha Permana itu bernilai penting dan bersejarah. Pun bagi sekeluarga lain yang mendapat tiga KTP serupa. Identitas mereka sebagai penghayat aliran kepercayaan di KTP kini tidak lagi tertutupi oleh sejumlah alasan.

Pemerintah Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat (Jabar), baru-baru ini mengakomodasi para penghayat kepercayaan ke dalam E-KTP. Tak identitas agama dalam E-KTP itu.

Keterangannya tertulis; kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. "Itu haknya warga, penduduk, negara hadir membantu mereka," kata Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung, Popong Warliati Nuraeni, di kantornya, Kamis (21/2/19).

Alkisah sebelum penerbitan KTP bagi penghayat di ibukota Jabar itu, Bonie mengundang sejumlah perwakilan instansi terkait. Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung itu membuat kelompok diskusi pada Desember 2018.

"Output yang diharapkan pelayanan hak sipil kepada para penghayat harus mulai dijalankan oleh birokrasi pemerintah Kota Bandung," katanya.

Para undangan yang hadir antara lain staf Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Kepegawaian, Dinas Pemakaman, Balai Pelestari Nilai Budaya, dan Dinas Pendidikan. Sedangkan beberapa hak yang dituntut adalah penerbitan KTP bagi penganut kepercayaan, tempat pemakaman umum, sumpah jabatan, serta penerapan kurikulum penghayat di sekolah.

Beberapa SD hingga SMA sudah memberlakukan. Namun belum di SMP tempat anak Bonie sekolah. Selama ini anaknya terpaksa ikut pelajaran agama lain.

Saat ini juga yang masih jadi isu nasional di kalangan penghayat, mereka belum bisa mendaftar ke TNI dan Polri. "Ini isu besar yang tertinggal, kalau selesai artinya kehadiran negara di lingkungan para penghayat di seluruh Indonesia sudah berhasil dan terasa," kata Bonie.

Sesuai identitas yang tertera di KTP, kata Popong, pihak mana pun harus menerima keyakinan penghayat. "Nggak boleh ada orang yang meragukan, itu dokumen kok. Masak mau meragukan kepercayaan orang, kan nggak."

Sejak keluar keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama dalam KTP. Keputusan itu muncul setelah hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Aturan itu mewajibkan pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Sejumlah penghayat kepercayaan menggugatnya.

Belasan tahun silam muncul kesadaran Bonie soal spiritualitasnya. Dari pihak ibunya ada yang menjadi penghayat. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, mereka menyantol ke agama lain.

Kemudian ada kesadaran kembali ke ajaran orang tua," ujar sarjana antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997 itu.

Ketika ikut mendampingi masyarakat adat, ia bersentuhan dengan ajaran leluhur. Orientasi spiritualnya condong ke kampung adat Cigugur di lereng Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jabar.

Mahasiswa yang sedang menempuh S-2 di jurusan Studi Perbandingan Agama di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung itu sehari-hari berprofesi sebagai pegawai negeri di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. Menjadi abdi Negara sejak 2008, selama ini tidak ada masalah dengan KTP.

"Karena tercantum suatu agama sampai terakhir ini ganti," katanya.

Di satu sisi, cara seperti itu membuat bermacam urusan menjadi lancar. Namun menyangkut identitas dan ekspresi keagamaannya, itu terganjal kebijakan negara. "Kalau ditelusuri lebih jauh ada unsur pemaksaan, walau pemerintah tidak berniat untuk mendiskriminasi," ujar Bonie.

Penghayat lain ada yang memilih kolom agamanya dikosongkan. Dalam format administrasi pencatatan termasuk sebagai pilihan ketujuh atau di luar enam agama yang diakui pemerintah.

Konsekuensinya, kata Bonie, muncul penafsiran negatif dari pihak lain. Ada yang menyangka mereka kelompok orang tidak beragama dan antiPancasila.

"Tudingan ateis itu yang bahaya," kata Bonie. Cerita para sesepuh, mereka sudah kenyang dicap sebagai komunis dan tudingan ateis sudah jadi makanan harian.

Pada satu masa, ujarnya, ajaran leluhur ini didiskreditkan oleh pembangunan opini. Dari situ muncul soal kepercayaan atau agama lokal tidak jauh dari masalah klenik, mistis, dukun. "Atau kalangan akademisi menganggap itu animisme, pemuja batu, atau penyembah berhala, pohon," kata Bonie.

Padahal menurutnya tudingan itu tidak berdasar. Penghayat tidak mengenal istilah dan ritual yang disangkakan. "Kami namakan Gusti, tidak ada istilah klenik, mistis,” ujarnya. Tata cara ibadahnya seperti kumpulan penghayat membahas ajaran, implikasi ajarannya seperti apa, dan mereka melakukan olah rasa atau meditasi.

Selama ini Bonie mengaku tidak mengalami diskiriminasi yang radikal. Namun ketika ingin mengaku sebagai penghayat di berbagai formulir isian seperti saat pelatihan juga membuka rekening bank, pilihan itu tidak pernah tersedia

Lebih pelik lagi ketika kaum penghayat ingin menikah. Meskipun punya tata cara sendiri, mereka harus mengikuti cara agama lain.

Setelah KTP, selanjutnya masih banyak hak sipil lain bagi para penghayat yang harus difasilitasi pemerintah. Tonggaknya, kata Bonie, Undang-undang Administratif Kependudukan tahun 2006.

Dalam aturannya terselip amanat. "Sekecil apa pun atau sedikit apa pun warga negara yang menganut suatu ajaran, ini harus mendapat perlakuan yang sama dari negara." (roell)

Berita Lainnya

Index