Riau Berduka, Mulyadi, Wartawan Senior Riau Wafat

Riau Berduka, Mulyadi, Wartawan Senior Riau Wafat
Alm Mulyadi
PEKANBARU - Tepat di hari pertama Ramadan, H Mulyadi dipanggil kepangkuan Ilahi. Bagi kalangan wartawan di Riau, sosok Mulyadi dianggap sebagai orangtua bahkan guru. Yang memberikan banyak pengajaran serta ilmu kewartawanan. Kini sosok tersebut sudah tiada. Hanya tinggal cerita pengabdian nya. 
 
Sejak kabar duka menyebar, rumah almarhum H Mulyadi yang terletak di Jalan Merpati No. 11 Kelurahan Tangkerang Tengah, Pekanbaru satu per satu mulai dipadati pelayat. Hujan deras yang mengguyur Kota Bertuah sejak sore hari seolah tak menjadi halangan untuk datang. Hingga tengah malam, sekitar pukul 23.19 rumah duka semakin dipadati. Sejumlah tokoh besar hadir disana. Salah satunya adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau H Dheny Kurnia yang merupakan salah seorang kerabat dekat Almarhum. 
 
Sebagian pelayat berkumpul di ruang tamu. Tempat Almarhum Mulyadi terbujur. Dengan ditutupi kain putih, ia di kelilingi pelayat yang tampak sendu. Ada yang menunduk, ada juga yang menerawang. Seolah mengenang cerita bersama Almarhum semasa hidupnya. 
 
Anak angkat Almarhum Abdullah mengatakan bahwa H Mulyadi sudah dirawat di rumah sakit sejak 16 Mei lalu. Almarhum mengidap stroke ringan bercampur dengan gula. Serta Pendarahan di kepala. Beberapa hari dirawat, Almarhum sempat membaik. Lalu kemudian pada lima hari lalu, kondisi kesehatan nya kembali menurun. Hingga sekitar pukul 16.10 WIB, almarhum berpulang di RSUD Arifin Achmad. 
 
Jenazah langsung dibawa ke rumah duka. Rencananya akan di makamkan ke esokan harinya di TPU Senapelan dan di shalatkan di Masjid Al Munawarah selepas shalat Dzuhur. 
 
Di sebuah ruangan kecil, terletak di sebelah kiri rumah duka berkumpulah para jurnalis Riau. Tua muda, senior dan junior saling bertukar cerita tentang sosok Mulyadi. Salah seorang kerabat dekat almarhum, yang juga merupakan7 Ketua Komisi 4 DPRD Kampar Tony Hidayat SE bercerita bahwa H Mulyadi merupakan sosok yang sangat akrab dengan dunia wartawan. Baginya, tidak satupun narasumber tidak bisa ditembus oleh Mulyadi, semasa menjadi wartawan. 
 
Ia pun berkisah ketika Kepri hendak dimekarkan. Sekitar tahun 2003, dirinya bersama Almarhum datang ke Kepri hendak meliput kedatangan Presiden RI pada masa itu, Gusdur.”di Tanjung Pinang kan ada isu pemekaran Kepri. Ada acara disitu kami hadir. Saya diminta hadir mewawancarai soal pemekaran. Selesai itu wartawan bertanya, apakah Presiden metestui pemekaran Kepri. Tapi Presiden belum jawab, “ujarnya berkisah. Kemudian ia berlari dan menarik tangan Toni dan menunggu di depan mobil Presiden. 
 
“Beliau tarik tangan saya, menunggu di mobil. Gusdur masuk mobil. Pas masuk beliau masuk juga ke mobil. Didalam lah mereka berdua. Tapi Alhamdulillah tidak ada satu pun paspampres yang bergerak. Didalam mobil lah dia bersama Presiden. Selama beberapa menit, keluar dia. Langsung ngomong, Kita sudah dapat judul. Presiden setuju Kepri dimekarkan,”ungkapnya.
 
Sekilas tentang Almarhum, dari informasi yang Riau Pos peroleh Mulyadi lahir di Bandung 18 April 1943. Setamat Fakultas Sastra Prancis, UNPAD, ia menjadi Wartawan Pikiran Rakyat Bandung. Kemudian, pindah ke Jakarta dan menjadi Wartawan Sinar Harapan. Setelah menikah dengan Wan Fauziah, Putri Mantan Wali Kota Pekanbaru, Wan Abdurrahman, almarhum pindah ke Pekanbaru dan menjadi koresponden Sinar Harapan. 
 
Ketika Sinar Harapan dibredel dan lahirlah media Suara Pembaruan, Mulyadi bertahan di Suara Pembaruan sampai pensiun tahun 2000. Setelah pensiun, almarhum menjadi koresponden lepas di Suara Pembaruan dan menulis di berbagai media di Riau, Sumbar dan Jakarta hingga akhir hayatnya. Ia juga sudah menulis 5 buah buku tentang perjalanan jurnalistik. 
 
Almarhumah meninggalkan satu anak, yakni Muhammad Emille Zola dan dua orang cucu. Selama menjadi wartawan dirinya sudah menunaikan rukun haji sebanyak 6 kali dan berkeliling dunia dalam tugas tugas jurnalistik. Antara lain ke wilayah Asia Tenggara, Asia, Eropah dan Amerika. Nama besarnya kini dikenang oleh seluruh wartawan di Riau. Kisah nya Juga tidak akan pernah mati dan menjadi pelajaran berarti bagi profesi wartawan.
 
Sementara itu, wafatnya wartawan senior H Mulyadi di usia 74 Tahun pada hari pertama bulan puasa membawa duka mendalam bagi insan pers Riau. Jelang akhir hayatnya, sepengetahuan Riau Pos, almarhum masih kerap hadir dalam beberapa pertemuan penting. Segudang pengalaman patut menjadikan almarhum sebagai tokoh Pers tanah air karena tidak saja menembus narasumber nasional namun juga internasional.
 
Sepanjang karirnya di dunia jurnalistik, almarhum paling sering ke Singapura. Hal aneh dan unik yang dilakukannya saat berkunjung ke negara tetangga tersebut adalah membuang kaus kaki setiap tiba disana. “Semacam ritual bagi beliau. Kalau berapa kali, sudah tak terhitung, karena Ia selalu menyempatkan diri kesana (Singapura, red) dan selalu membuang kaus kaki,” ungkap rekan almarhum Fakhrunnas MA Jabbar.
 
Fakhrunnas yang kini dikenal sebagai budayawan Riau, mengisahkan sejak tahun 1989, Ia selalu diajak almarhum liputan ke Malaysia atau Singapura. “Saat itu beliau Suara Pembaharuan dan saya di Media Indonesia,” kata Fakhrunnas kepada Riau Pos Sabtu (27/5) malam.
 
Ritual membuang kaus kaki setiap tiba di Singapura. Cerita Fakhrunnas bukan tanpa dasar dilakukan almarhum. Saat itu H Mulyadi berkisah, ketika mengajak Fakhrunnas sama-sama membuang kaus kaki bahwa apa yang dilakukannya sepenuhnya sebagai perlawanan yang dilakukan.
 
“Filosofinya bagi dia, Singapura yang kerap membuang limbah ke perairan Indonesia ingin dibalasnya. Dengan cara itulah,” ungkap Fakhrunnas. Selama berteman, sebagai wartawan junior Fakhrunnas mengaku banyak mendapat pelajaran berharga dari almarhum selama meliput. Menurutnya H Mulyadi merupakan salah satu sosok wartawan Riau yang konsisten dengan profesinya. Dimana sejak periode awal PWI Riau, Ia sudah eksis dan terlibat.
 
Suami Wan Fauziah yang merupakan anak mantan Wako Pekanbaru Wan Abdur Rahman tersebut, kenang Fakhrunnas sebenarnya telah mempersembahkan jiwa raganya untuk Bumi Lancang Kuning. Meskipun almarhum adalah orang Jawa Barat, namun Ia sudah menjadi lebih dari seorang Melayu.
 
“Kedekatan saya dengan beliau sejak 1989-2000an, banyak belajar dari beliau, bagaimana ia kerap mengajak liputan masalah aktual. Sebagai junior saat itu, narasumber yang ketika itu sulit kita rasa, tapi Ia mampu menembusnya,” kata Fakhrunnas.
 
Salah satu hal yang tak akan pernah terlupakan bagi pria yang kini menjadi seniman dan menghasilkan berbagai karya sastra tersebut. Puncak pengalamannya bersama almarhum adalah pada tahun 1997. Dimana ketika itu Malaysia, mantan Perdana Menterinya Anwar Ibrahim terseret kasus hukum karena seteru politiknya Mahatir Muhammad.
 
“Malaysia sedang panas-panasnya, kami waktu itu ditugaskan Gubernur saat itu berdua, melihat perkembangan perseteruan Anwar dan Mahatir, kami berangkat ke Malaysia,” kisahnya.
 
Karena ditugaskan hanya memantau, Fakhrunnas heran ketika tiba di Malaysia dan menginap di Chokit, almarhum langsung mengajak ke kediaman Anwar Ibrahim. Saat itu dikatakannya, kediaman Anwa masih berada di komplek pemerintahan, dan mereka berhasil menembus hingga mewawancara istri Anwar Ibrahim, Wan Aziza.
 
“Spirit, tekad, keberanian, itu yang saya apresiasi dari Almarhum. Bahkan dengan mesin tik portable, kami langsung kirim ke media kami masing-masing dan terbit di halaman satu sebagai wawancara khusus. Luar biasa kalau diingat-ingat,” ungkap Fakhrunnas.
 
Sebagai wartawan menurut Fakhrunnas, pengetahuan yang dimiliki Almarhum dan menguasai Bahasa Inggris, dan bahasa Prancis menjadi modal beliau berani selama menjadi wartawan dan mengantarkannya keliling dunia.
 
Memang diakui Fakhrunnas, Almarhum sering mengambil peran dengan bertanya di setiap kesempatan pada kepala negara di berbagai belahan dunia. 
 
“Menurut saya itu bukan show off, karena menurut Almarhum kalau jadi wartawan jangan tanggung-tanggung,” kata Fakhrunnas yang mengaku banyak mendapat ilmu dari seniornya tersebut.
 
Karenanya Ia berharap insan pers Riau yang muda-muda dapat mengambil ilmu dan pelajaran dari almarhum. Karena dengan pengetahuan, ilmu dan profesi, maka kia harus sepenuh hati dalam bertugas menjalankan profesi.
 
 
 
Sumber: riaupos.co

Berita Lainnya

Index